Salah satu permasalahan yang mengenang di INDONESIA yakni perselisihan islam,
Ini adalah tentang ahmadiyah.
Pendiri Jemaat Ahmadiyah yang umumnya dikenal dengan sebutan “Ahmadiyah Qadian” ialah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Menurut cerita orang-orang Ahmadi (pengikut dan penganut Jemaat Ahmadiyah) dan tulisan-tulisan dari literatur-literatur mereka, Mirza Ghulam Ahmad berasal dari keturunan keluarga terhormat. "Mirza" adalah gelar yang biasa diberikan kepada kaum ningrat keturunan raja-raja Islam dari dinasti "Moghul" yang berasal dari Persia (Iran) . Sebutan "Hazrat" biasa diberikan orang kepada wujud-wujud suci , atau para 'alim rabbani. Sedangkan sebutan "Ghulam" merupakan nama famili. Jadi nama asli Mirza Ghulam Ahmad hanyalah "Ahmad". Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dilahirkan pada tanggal 13 Pebruari 1835 bertepatan dengan 14 Syawal 1250 Hijriah, tepat hari Jum'at dikediaman orang tuanya sendiri, "Mirza Ghulam Murtaza", disebuah desa terpencil Qadian, 24 kilometer dari kota Amritsar di Propinsi Punjab hindia.
Dalam tahun 1890 Hazrat Mirza Ghulam Ahmad membuat sebuah karya tulis yang bernama "Fath Islam", disusul oleh kemudian karya berikutnya "Taudhih Maram" dan kedua buku ini terbit pada tahun 1891, bersama-sama dengan buku lain "Izala Auham". Didalam buku-buku tersebut Mirza Ghulam Ahmad mengumumkan pengakuannya bahwa berdasarkan wahyu Allah kepadanya, Allah SWT telah menunjuk dan mengangkatnya sebagai Almasih dan Mahdi yang dijanjikan. Pengakuan Mirza Ghulam Ahmad ini menurutnya didasarkan dan ditunjang oleh banyak ayat-ayat Al-Qur'an (diantaranya 1:7, 24:55, , 61:6, 73:15 dllnya), serta hadits-hadist Rasulullah SAW dan perkataan Nabi Isa sendiri dalam Bibel (diantaranya Yohanes 14:3, Iberani 4:28, Matius 29:39, dll).
Dapat dicatatkan disini bahwa dalam buku Barahin Ahmadiyah, dia masih memegang dan menganut keyakinan yang sama sebagaimana kebanyakan kaum Muslimin ketika itu tentang masalah hidupnya Nabi Isa diatas langit. Akan tetapi pada tahun 1891 ketika dia merasa diberi tahukan oleh Allah lewat wahyu bahwa Nabi Isa a.s. itu telah wafat , Mirza Ghulam Ahmad kemudian merubah pendiriannya itu dengan mengumumkan kepada dunia bahwa nabi Isa a.s. telah wafat seperti nabi-nabi lain juga telah wafat sebagaimana umumnya manusia yang ada didunia ini. Dan Mirza Ghulam Ahmad pun menyebutkan juga bahwa kuburan Isa a.s. terdapat di kota Srinagar, Kashmir ....(lihat, Dard AR, Life of Ahmad, 1948:221). Ilmu pengetahuan modern belakangan ini telah mengungkapkan penemuan-penemuan baru yang mendukung dan membenarkan pernyataan Mirza Ghulam Ahmad itu.(Majalah Selecta 616, Juli 1973 dan majlah Varia Juni 1973).
Selanjutnya pada tahun 1896 di kota Lahore diadakan seminar agama-agama atas prakarsa beberapa tokoh agama yang bercita-cita hendak menghentikan sengketa-sengketa diantara agama-agama yang ada di India. Dalam seminar itu diundanglah wakil-wakil berbagai agama untuk menampilkan lima pokok masalah , dengan syarat isinya tidak menyerang agama lain dan agar diketengahkan argumentasi-argumentasi yang langsung diambil dari Kitab Sucinya masing-masing. Kelima pokok masalah yang yang dijadikan topik perbincangan dalam seminar itu adalah sbb:
1. Keadaan jasmani, akhlak dan rohani manusia.
2. Keadaan manusia sesudah mati.
3. Maksud hidup manusia di dunia ini dan jaln untuk mencapainya.
4. Akibat dan natijah perbuatan dan amal manusia didunia dan di akhirat.
5. Jalan-jalan untuk memperoleh ilmu dan ma'rifat.
Oleh panitia seminar tersebut Mirza Ghulam Ahmad pun diminta ikut ambil bagian dengan mengetengahkan makalah-makalah yang berkaitan dengan topik-topik diatas dan mengetengahkan ketinggian-ketinggian Islam dengan dalil-dalil dari Al-Qur'an. Sebelum seminar itu berlangsung , dari awalnya Mirza Ghulam Ahmad meyakini dirinya telah mendapat wahyu dari Allah bahwa makalahnya akan mengungguli semua makalah yang dibacakan dalam seminar itu. Kabar itu dia umumkan dalam surat-surat selebaran dan brosur-brosur di kota Lahore. Karena Mirza Ghulam Ahmad sendiri tidak dapat menghadiri seminar itu, dia mengirimkan utusannya salah seorang pengikutnya yakni Maulana Abdul Karim yang mendapat kehormatan untuk membacakan makalahnya itu.
Beberapa surat-surat kabar saat itu mengakui dalam laporannya masing-masing akan keunggulan makalah Mirza Ghulam Ahmad tadi seperti yang diutarakan:
"Penampilan tentang agama Muhamammad yang terbaik dan paling menarik yang baru kita jumpai"....(The Theosophical Book Notes, dikutip dari Sinar Islam April 1981).
Makalah tersebut telah diterbitkan dalam berbagai bahasa dunia, diantaranya bahasa Arab dengan nama "Falsafah al ta'alim al Islamiyah", edisi Inggeris dengan nama "The Philosophy of the Teaching of Islam" dan edisi Bahasa Indonesia dengan nama "Filsafat Ajaran Islam"....(Pada tanggal 6 Januari 1997 buku tersebut kembali dibahas dalam suatu Seminar diantara para Rektor Universitas di Yogyakarta dalam acara "Bedah Buku" yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Seminar tersebut dihadiri ±1300 orang peserta dari berbagai kalangan Ahmadi dan non Ahmadi....(NS)...).
Mengenai buku "Filsafat Ajaran Islam" itu sastrawan kenamaan Leo Tolstoy dari Rusia menulis komentarnya: "The ideas are very profound and very true" yakni bahwa gagasan-gagasannya sangat mendalam dan benar". Harian "Bristol Times and Mirror" memberikan ulasan: "Jelas, orangnya bukanlah orang sembarangan, yang berdialog dengan orang-orang Eropa dan Amerika dengan corak demikian". "The Moslem Review meberikan komentarnya: "Penelaah buku-buku ini akan menjumpai banyak pikiran yang benar, mendalam, orisinil, dan mengilhami"....(Sinar Islam April 1981:25).
Semenjak Mirza Ghulam Ahmad "mendakwakan" dirinya sebagai "Al-Masih" dan "Al-Mahdi" yang dijanjikan tak ada lagi waktu terluang baginya untuk berdiam diri dan berpangku tangan . Dia dan para pengikutnya banyak menghadapi perlawanan dari pihak-pihak anti Islam dan juga dari pihak Ulama-Ulama Mainstream Islam sendiri yang melancarkan berbagai tuduhan terhadap dirinya. Pada tahun 1900 Mirza Ghulam Ahmad menyempurnakan "dakwah" nya kepada pihak orang-orang Kristen dengan mengajak "padri-padri" Kristen di kota Lahore supaya "meminta keputusan ilahi" (mubahalah) untuk menentukan siapa yang berdiri dipihak yang benar dan siapa pula yang berdiri dipihak yang batil. Tetapi tantangan itu pun tidak ditanggapi oleh mereka.
Pada tahun 1893, terbit pula karya Mirza Ghulam Ahmad "Aina Kamalti Islam" berisi uraian-uraian yang mencerminkan keindahan dan keluhuran agama Islam dan didalamnya juga termuat ajakan dan dakwah beliau kepada kepada Ratu Victoria dari Inggeris dan seruan kepada Ratu Inggeris itu untuk memeluk agama Islam. Dengan kata-kata yang penuh keberanian Mirza Ghulam Ahmad menulis:
" Wahai Sri Baginda Ratu, Berlimpah-limpah kebajikan Tuhan telah dianugerahkan Tuhan kepada Sri Baginda Ratu daalm urusan duniawi. Kini dambakanlah kerajaan rohani. Bertaubatlah dan taatilah Dia yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai serikat dalam KerajaanNya dan sanjunglah Dia.......Wahai Sri Baginda Ratu, terimalah Islam dan Baginda akan selamat....."( Dard, Life of Ahmad, 1960:9).
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad wafat pada tanggal 26 Mei 1908 di Lahore dan dikembumikan di Qadian setelah berpesan kepada para pengikutnya dalam bukunya yang terakhir "Al-Washiyat" ( Lihat, Dard, Life of Ahmad, 1960:15). Mirza Ghulam Ahmad meninggalkan ±400,000 orang pengikut yang sekarang meningkat menjadi ±25 juta orang (1999) yang tersebar di seluruh pelosok dunia . Menarik kesimpulan dari kehidupannya , bahwasanya dirinya melaksanakan tugas-tugas suci sebagai berikut:
1. Memperkenalkan kepada dunia Tuhan Yang Hidup dan Berkata-kata seperti juga dahulu Dia berkata-kata.
2. Menghilangkan segala rintangan dan hambatan yang menghalangi hubungan antara Khaliq dan makhluNya.
3. Memperkenalkan kepada dunia bahwa Qur'anlah satu-satunya kitab suci dan Muhammad SAW satu-satunya nabi yang sanggup menuntun manusia ke jalan kebenaran.
4. Membendung arus orang Islam yang menyeberang keagama Kristen dan menarik orang-orang Kristen kepada Islam.
5. Mengembalikan ummat islam dibawah naungan satu Imam dengan perantaraan khalifah-khalifah pilihan Tuhan.
6. Membuktikan kepada dunia bahwa Islam adalah agama yang hidupyang hidup dan sanggup menjawab segala tantangan dan persoalan yang menyangkut kehidupan ummat manusia di segala zaman.
Mirza Ghulam Ahmad berkata: "Dengarlah hai segala manusia dan saksikanlah bahwasanya Allah yang menjadikan langit dan bumi ini telah memberi kabar ghaib ini kepadaku, bahwa Dia akan menyebarkan jemaat ini keseluruh dunia dan Dia akan memberikan kemenangan kepada jemaat ini di atas golongan lain, semuanya dengan jalan keterangan dan "hujjah"....Aku datang hanya untuk menanam benih ini, dan aku telah menanamnya. sekrang benih ini akan senatiasa tumbuh terus dan niscayalah akan berbuah pula, lagi pula tak ada siapapun yang dapat menghalangi kemajuannya (Ahmad, Tazkirah, tt:635, Dard, 1948:445).
Penafsiran bagi mereka
Seperti umumnya karya tafsir, Tafsir Jemaat Ahmadiyah banyak merujuk ke kitab tafsir yang populer di kalangan umat Islam seperti al-Kasysyâf, al-Bahr al-Muhîth dan lainnya, walaupun terkadang ditemukan kutipan yang tidak tepat atau sempurna, sehingga terkesan sekadar mencari pembenaran klaim tertentu yang sesungguhnya tidak terkandung dalam kutipan tersebut.
Tafsir itu juga menggunakan hadis sebagai penjelas Al-Qur`an dengan merujuk kitab-kitab hadis yang populer di kalangan umat Islam. Demikian juga pandangan para sahabat dan tabi`in sering dikutip dalam tafsir tersebut. Selain menggunakan tafsîr bi al-ma`tsûr (penafsiran dengan hadis, pandangan sahabat dan tabi`in), Tafsir Ahmadiyah menggunakan pendekatan tafsir isyâri, yaitu sebuah penafsiran yang berusaha menangkap isyarat yang terkandung di balik lafal/zahir ayat. Metode penafsiran ini banyak digunakan oleh kalangan sufi. Selain meyakini kebenaran makna zahir yang tersurat dari sebuah ayat, kaum sufi berkeyakinan ada makna lain yang tersirat di balik lafal. Berbeda dengan mereka, kelompok Bathiniyyah juga meyakini makna di balik teks, terutama yang sejalan dengan kepentingan mereka, tetapi meninggalkan makna zahir ayat. Metode penafsiran bathiniyyah biasanya didahului oleh adanya pra-konsepsi, atau kecenderungan terhadap pandangan tertentu yang kemudian dicarikan pembenarannya dari Al-Qur`an. Memang, banyak kesalahan atau penyimpangan dalam tafsir terjadi karena menjadikan Al-Qur`an sebagai alat pembenaran, bukan sumber kebenaran. Al-Qur`an tidak lagi menjadi imâm yang harus diletakkan di depan, tetapi dijadikan sebagai ma`mûm yang mengikuti kehendak pikiran dan hawa nafsu.
Ibnu Taimiyah menyebutkan, kesalahan dalam tafsir, khususnya yang menggunakan pendekatan rasional (tafsîr bi al-ra`yi) dan isyâriy, terjadi karena dua faktor, pertama: seorang penafsir memiliki pandangan tertentu kemudian mencari pembenarannya dari Al-Qur`an; kedua : menafsirkan Al-Qur`an sesuai makna bahasa, tanpa memperhatikan konteks penyebutan dan pemahaman bangsa Arab yang menerima Al-Qur`an.
Kesalahan karena faktor pertama mengambil dua bentuk, pertama : konsep makna yang akan dibangun benar (madlûl), tetapi argumentasi atau dalil yang digunakan tidak tepat karena tidak mengarah ke situ. Bentuk kedua, konsep atau makna (madlûl) yang akan dibangun keliru, demikian pula dalil atau argumentasinya.
Contoh, kelompok Syiah fanatik (râfidhah) menafsirkan QS. Al-Masad/111 : 1, tabbat yadâ abî lahab (celakalah kedua tangan Abu lahab), bahwa 'kedua tangan' dimaksud adalah Abu Bakar dan Umar. Penafsiran ini lahir karena mereka sangat membenci Abu Bakar dan Umar yang dianggap telah 'merampas' hak kepemimpinan Imam Ali. Kata baqarah (sapi) yang diperintahkan untuk disembelih oleh bani Israil pada QS. Al-Baqarah/2: 67 adalah berarti Aisyah. Demikian fanatisme mereka yang berlebihan terhadap Imam Ali dan keluarganya, serta kebencian mereka terhadap lawan-lawan politik mereka (para sahabat) mempengaruhi penafsiran yang mereka lakukan. Padahal tidak sedikit pun ayat-ayat tersebut mengarah pada konsep yang hendak mereka bangun.
Pola penafsiran seperti ini banyak ditemukan dalam tafsir Ahmadiyah. Berangkat dari keyakinan bahwa pemimpin dan pendiri Jemaat Ahmadiah, Mirza Ghulam Ahmad (MGA), sebagai seorang nabi, sekian banyak ayat ditafsirkan untuk mendukung pandangan tersebut. Jadi persoalannya bukan sekadar beda penafsiran, tetapi yang mereka lakukan adalah menjadikan ayat-ayat Al-Qur`an sebagai pembenaran atas klaim kenabian MGA.
Perhatikan misalnya ketika MGA, seperti dikemukakan dalam tafsir Ahmadiyah, mengklaim dirinya telah mendapat jaminan surga berdasarkan firman Allah QS. Yâsîn/36: 20 dan 26, sebab hanya dialah, bukan lainnya, yang mendapat perintah masuk surga, sehingga dia membangun pekuburan surgawi (bahisyti maqbarah) di Qadian yang dikhususkan bagi para Ahmadi (sebutan bagi pengikut Ahmadiyah).
Demikian juga ketika MGA menyatakan bahwa QS. Al-Qiyâmah/75 : 9 sebagai isyarat kebenaran pengakuannya sebagai Masih Mau`ud (Al-Masih yang dijanjikan turun di akhir zaman) dan Imam Mahdi, sebab ketika itu matahari dan bulan kedua-duanya mengalami gerhana. Padahal ayat tersebut tidak sedang berbicara dalam konteks gerhana, apalagi yang terjadi ratusan tahun kemudian saat MGA mendeklarasikan pengakuannya, tetapi menggambarkan keadaan saat kiamat terjadi (seperti nama surah tersebut) yaitu ketika matahari dan bulan dikumpulkan sehingga hancur berantakan.
Selain itu, dalam tafsir tersebut sosok MGA digambarkan sebagai Rasulullah, wakil agung Rasulullah, Masih Maw`ud sekaligus Imam Mahdi, rekan sejawat dan misal Nabi Isa as. Dalam buku yang saya tulis, Menggugat Ahmadiyah; Mengungkap Ayat-Ayat Kontroversial dalam Tafsir Ahmadiyah, terbitan Pusat Studi Al-Qur`an (PSQ) dan Lentera Hati, (2011), saya mengungkap tidak kurang dari 50 ayat dalam Al-Qur`an digunakan untuk membenarkan pemahaman mereka yang menyimpang.
Kekeliruan penafsiran demikian bukan hanya terletak pada konsep atau makna yang akan dibangun, yaitu klaim kenabian MGA yang bertentangan dengan pokok ajaran Islam yang sudah pasti (al-ma`lûm min al-dîn bi al-dharûrah) bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad saw, tetapi juga pada dalil atau argumen yang melandasinya, sebab secara bahasa tidak mengarah ke situ.
Secara tidak langsung, Ahmadiyah telah 'membonceng', bahkan 'memerkosa' (memaksakan) ayat-ayat Al-Qur`an untuk membenarkan pandangan yang mereka miliki sebelumnya (pra-konsepsi), yaitu MGA sebagai nabi. Dari sini maka sangat beralasan, kalau kemudian banyak lembaga fatwa seperti MUI (1980 dan 2005), Majma` al-Fiqh al-Islamiy di bawah Rabithah al-Âlam al-Islâmiy dan lembaga yang sama di bawah Organisasi Konferensi Islam menyatakan kelompok ini sebagai kelompok sesat, bahkan dinyatakan keluar dari Islam. Wallahua`lam.
Senin, 21 Februari 2011
Pandangan Terhadap Ahmadiyah
Diposting oleh
sang penjelajah
di
18.15
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Posting Komentar